Sabtu, 13 Juni 2020

Cerpen Anak


Air Mata Indah
Oleh : Ramadhani Ayu Wiguna


            Pagi hari yang cerah. Sinar matahari seakan malu-malu mengintip dari balik pohon di samping sekolahku. Indah dan ketiga sahabatnya berbincang-bincang di depan kelas sambil mengunyah jajan yang baru mereka beli dari kantin. Ayu dan teman-temannya terkenal sebagai anak-anak yang tiap harinya mampu jajan hingga puluhan ribu.
            “Hei..., sini! Belikan aku minuman! Nih uangnya! Cepat ya! Awas, gak pake lama!” perintah Indah pada Imam, adik kelasnya.
            Tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Mereka bergegas masuk tanpa menghiraukan minuman yang telah mereka pesan. Mereka takut pada Bu Ulfa yang terkenal sangat disiplin. Bu Ulfa masuk dengan wajah berbeda. Ada sedikit kesedihan di sudut matanya.
            “Anak-anak, hari ini ada berita yang kurang enak. Teman kita, Rani, terkena musibah. Kemarin Rani tertabrak sepeda motor. Kaki kanannya cedera hingga belum bisa berjalan,” terdengar suara Bu Ulfa sedih.
            Anak-anak diam. Mereka tak mampu berkomentar. Hanya mata mereka saling pandang seakan ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh teman terpintar di kelas mereka, yaitu Rani. Rani yang pintar tapi hidup dalam keluarga yang kurang mampu.
            “Kualat, tuh, makanya jangan sombong! Baru ranking kelas aja sudah sombong,” bisik Indah.
            “Hei..., apa maksudmu? Rani tidak pernah sombong. Gak salah tuh..., bukannya kamu yang selalu iri pada Rani? Kamu yang sombong, mentang-mentang anak orang kaya bersikap seenakmu! Berteman juga hanya dengan golonganmu, iya kan?” sentak Dewi kesal.
            “Apa...? Aku iri pada Rani..! Gak level kali...,” Indah membela diri.
            Mendengar suara berisik, Bu Ulfa berdiri dari tempat dudukny sambil memandang Indah dan Dewi yang baru saja bertengkar.
“Ibu tak ingin memdengar komentar apa-apa hari ini. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kita bisa meringankan beban sahabat kalian, Rani! Ibu akan beri waktu 15 menit untuk kalian bermusyawarah. Ibu tunggu,” kata Bu Ulfa sambil ke luar kelas.
            Setelah Bu Ulfa ke luar kelas, seperti biasa, Riski sebagai ketua kelas maju untuk memimpin kami musyawarah.
            “Bagaimana teman-teman, jika ada yang punya ide, tolong sampaikan sekarang!”
            “Sumbang aja, gimana?” usul Ais.
            “Wah..., enak kubeli roti bakar dan es puter!” teriak Indah.
            Semua mata anak-anak memandang asal suara itu. Indah akhirnya malu sendiri dan duduk diam.
            “Aku punya usul, ini pun kalau teman-teman setuju. Bagaimana jika kita membuat program satu minggu tanpa uang jajan?” usul Giska.
            “Program apaan tuh?” teriak Fito.
            “Begini, kita dalam satu minggu ini menahan diri tanpa uang jajan. Nah, uang jajan kita dikumpulkan untuk sahabat kita, Rani. Apalah artinya uang jajan kita jika dibandingkan dengan kesembuhan sahabat kita, Rani,” jelas Giska.
            Kelas menjadi riuh oleh tepuk tangan. Tampaknya hampir semua teman-teman setuju dengan usul Giska. Hanya Indah dan teman-temannya yang tampak tak puas dengan program itu. Sehari saja tanpa jajan bagi mereka adalah neraka.
“Enak saja, masa uang jajanku diserahkan pada Rani, tak sudi lah yau...! Yang sakit siapa, yang menderita kita,” protes Indah sambil berbisik pada temannya.
            “Iya nih! Gimana rasanya tanpa uang jajan? Bisa kering nih, mulutku,” jawab Monik.
            Program seminggu tanpa uang jajan ternyata berlanjut tanpa menghiraukan protes Indah dan teman-temannya. Bu Ulfa sangat mendukung program itu. Bahkan setiap pagi Bu Ulfa juga ikut menyetorkan uang pada Giska sebagai bendahara. Indah dan teman-temannya hanya menyetor seribu rupiah dan terkadang mereka tidak menyetor sama sekali.
            Akhirnya program satu minggu tanpa uang jajan berakhir sudah. Lepas sudah rasanya beban yang menjerat Indah dan teman-temannya. Setelah dihitung, terkumpullah uang sebesar empat ratus lima puluh ribu rupiah hasil kerja keras selama satu minggu melawan rasa haus.
            Semua siswa kelas lima hari ini berkunjung ke rumah Rani, termasuk Indah dan teman-temannya. Setelah melewati gang-gang kecil yang kumuh, tibalah mereka di rumah Rani. Terlihat banyak tumpukan sampah di kanan dan kiri jalan.
            Indah sengaja berjalan di depan karena ingin melihat penderitaan Rani yang selama ini ia anggap sebagai saingannya. Setelah Indah melihat Rani, tiba-tiba ada perasaan aneh menyelinap dalam hatinya. Rani yang selama ini ia kenal ceria dan lincah, kini terbaring lemah di tempat tidur lusuh tak beralaskan seprai indah seperti tempat tidurnya. Rani yang selama ini ia anggap musuhnya, kini disuapi ibunya dengan nasi jagung dan kerupuk di tangan kanannya. Rani yang selama ini selalu dipuji Bu Ulfa ternyata tinggal di tempat yang lebih pantas disebut garasi atau apalah. Ada perasaan yang aneh yang Indah rasakan, tapi ia tak bisa berkata-kata. Terbayang makanan yang mewah dan buah-buahan segar bertumpuk jika ia sakit, terkadang hingga busuk karena tak tersentuh.
            Indah tertunduk. Ia tak lagi menghiraukan teman-teman di sekelilingnya. Suara Bu Ulfa yang sejak tadi menghibur Rani tak ia dengarkan. Tenggorokannya seakan kering dan tercekat. Tubuhnya gemetar.
            “Apa yang terjadi padaku?” bisik Indah dalam hati.
            Tiba di rumah, Indah langsung menjerit memanggil bundanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Bunda Indah bingung. Tak pernah ia saksikan anak semata wayangnya mengeluarkan air mata beberapa tahun ini.
            “Ada apa dengan Indah?” bisik Bunda dalam hati.
            “Bun..., maafkan Indah, ya! Selama ini Indah jadi anak bandel, sering melawan Bunda. Bun..., Indah jahat. Indah tidak pernah bersyukur. Indah tidak pernah membahagiakan orang lain,” isak Indah.
            Bunda tambah bingung, tapi bercampur bahagia. Buda melihat ada perubahan besar yang terjadi pada diri Indah. Air mata Indah adalah air mata terindah yang Bunda saksikan saat ini. Air mata penyesalan dan air mata pengabdian dari seorang anak yang selalu diimpikan setiap bunda.
            “Bunda..., Indah mohon sekali ini saja...! Setelah itu Indah tidak akan minta apa-apa lagi. Tolong bantu teman Indah, kini ia terbaring sakit, Bun! Kakinya cedera. Indah yakin jika tak dirawat di rumah sakit ia tak akan cepat sembuh. Plis... Bun, kabulkan permohonan Indah!” pinta Indah di tengah isaknya.
            Bunda tersenyum. Tanpa berkata, Bunda menganggukan kepala.
            “Terima kasih Bunda, Ayah pasti setuju jika Bunda yang meminta. Tolong ya, Bunda!”
            “Iya, sayang..., Bunda bahagia sekali melihat Indah seperti ini. Ternyata doa Bunda terkanulkan, Nak. Selama ini Bunda selalu berdoa buat Indah agar menjadi anak yang peduli pada orang lain, saling mengasihi, dan berusaha untuk membahagiakan orang lain,” jawab Bunda sambil berlinang air mata.
            Demikianlah, akhirnya Rani mendapatkan perawatan yang layak dari orang tua Indah. Rani sembuh total dan kembali ke sekolah dengan ceria. Teman-temannya menyambut dengan suka cita. Indah memeluk Rani dan berbisik.
            “Selamat datang sahabatku. Aku ingin kita berteman selamanya,” ucap Indah.
            “Terima kasih Indah. Aku sudah menganggapmu teman jauh sebelum kamu memintanya,” jawab Rani.
            Indah dan Rani kembali berp[elukan disertai tepuk tangan yang meriah teman-temannya sekelasnya. Hari ini senyum Indah benar-benar indah seindah hatinya.




Surabaya, Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

desain dengan paint

ARTIKEL GIATKAN LITERASI DENGAN PEMBIASAAN MENULIS DIARY

  GIATKAN LITERASI DENGAN PEMBIASAAN MENULIS DIARY di SDN Dr.SUTOMO V/ 327 SURABAYA Oleh : RITA ERWIYAH,M.Pd Menulis merupakan salah sat...

Persahabatan si Betung