Air
Mata Indah
Oleh : Ramadhani
Ayu Wiguna
Pagi hari yang cerah. Sinar matahari seakan malu-malu
mengintip dari balik pohon di samping sekolahku. Indah dan ketiga sahabatnya
berbincang-bincang di depan kelas sambil mengunyah jajan yang baru mereka beli
dari kantin. Ayu dan teman-temannya terkenal sebagai anak-anak yang tiap
harinya mampu jajan hingga puluhan ribu.
“Hei..., sini! Belikan aku minuman! Nih uangnya! Cepat
ya! Awas, gak pake lama!” perintah Indah pada Imam, adik kelasnya.
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Mereka bergegas masuk
tanpa menghiraukan minuman yang telah mereka pesan. Mereka takut pada Bu Ulfa
yang terkenal sangat disiplin. Bu Ulfa masuk dengan wajah berbeda. Ada sedikit
kesedihan di sudut matanya.
“Anak-anak, hari ini ada berita yang kurang enak. Teman
kita, Rani, terkena musibah. Kemarin Rani tertabrak sepeda motor. Kaki kanannya
cedera hingga belum bisa berjalan,” terdengar suara Bu Ulfa sedih.
Anak-anak diam. Mereka tak mampu berkomentar. Hanya mata
mereka saling pandang seakan ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh teman
terpintar di kelas mereka, yaitu Rani. Rani yang pintar tapi hidup dalam
keluarga yang kurang mampu.
“Kualat, tuh, makanya jangan sombong! Baru ranking kelas
aja sudah sombong,” bisik Indah.
“Hei..., apa maksudmu? Rani tidak pernah sombong. Gak
salah tuh..., bukannya kamu yang selalu iri pada Rani? Kamu yang sombong,
mentang-mentang anak orang kaya bersikap seenakmu! Berteman juga hanya dengan
golonganmu, iya kan?” sentak Dewi kesal.
“Apa...? Aku iri pada Rani..! Gak level kali...,” Indah
membela diri.
Mendengar suara berisik, Bu Ulfa berdiri dari tempat
dudukny sambil memandang Indah dan Dewi yang baru saja bertengkar.
“Ibu tak ingin
memdengar komentar apa-apa hari ini. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana
kita bisa meringankan beban sahabat kalian, Rani! Ibu akan beri waktu 15 menit
untuk kalian bermusyawarah. Ibu tunggu,” kata Bu Ulfa sambil ke luar kelas.
Setelah Bu Ulfa ke luar kelas, seperti biasa, Riski
sebagai ketua kelas maju untuk memimpin kami musyawarah.
“Bagaimana teman-teman, jika ada yang punya ide, tolong
sampaikan sekarang!”
“Sumbang aja, gimana?” usul Ais.
“Wah..., enak kubeli roti bakar dan es puter!” teriak
Indah.
Semua mata anak-anak memandang asal suara itu. Indah
akhirnya malu sendiri dan duduk diam.
“Aku punya usul, ini pun kalau teman-teman setuju.
Bagaimana jika kita membuat program satu minggu tanpa uang jajan?” usul Giska.
“Program apaan tuh?” teriak Fito.
“Begini, kita dalam satu minggu ini menahan diri tanpa
uang jajan. Nah, uang jajan kita dikumpulkan untuk sahabat kita, Rani. Apalah
artinya uang jajan kita jika dibandingkan dengan kesembuhan sahabat kita,
Rani,” jelas Giska.
Kelas menjadi riuh oleh tepuk tangan. Tampaknya hampir
semua teman-teman setuju dengan usul Giska. Hanya Indah dan teman-temannya yang
tampak tak puas dengan program itu. Sehari saja tanpa jajan bagi mereka adalah
neraka.
“Enak saja, masa uang
jajanku diserahkan pada Rani, tak sudi lah yau...! Yang sakit siapa, yang
menderita kita,” protes Indah sambil berbisik pada temannya.
“Iya nih! Gimana rasanya tanpa uang jajan? Bisa kering
nih, mulutku,” jawab Monik.
Program seminggu tanpa uang jajan ternyata berlanjut
tanpa menghiraukan protes Indah dan teman-temannya. Bu Ulfa sangat mendukung
program itu. Bahkan setiap pagi Bu Ulfa juga ikut menyetorkan uang pada Giska
sebagai bendahara. Indah dan teman-temannya hanya menyetor seribu rupiah dan
terkadang mereka tidak menyetor sama sekali.
Akhirnya program satu minggu tanpa uang jajan berakhir
sudah. Lepas sudah rasanya beban yang menjerat Indah dan teman-temannya.
Setelah dihitung, terkumpullah uang sebesar empat ratus lima puluh ribu rupiah
hasil kerja keras selama satu minggu melawan rasa haus.
Semua siswa kelas lima hari ini berkunjung ke rumah Rani,
termasuk Indah dan teman-temannya. Setelah melewati gang-gang kecil yang kumuh,
tibalah mereka di rumah Rani. Terlihat banyak tumpukan sampah di kanan dan kiri
jalan.
Indah sengaja berjalan di depan karena ingin melihat
penderitaan Rani yang selama ini ia anggap sebagai saingannya. Setelah Indah
melihat Rani, tiba-tiba ada perasaan aneh menyelinap dalam hatinya. Rani yang
selama ini ia kenal ceria dan lincah, kini terbaring lemah di tempat tidur
lusuh tak beralaskan seprai indah seperti tempat tidurnya. Rani yang selama ini
ia anggap musuhnya, kini disuapi ibunya dengan nasi jagung dan kerupuk di
tangan kanannya. Rani yang selama ini selalu dipuji Bu Ulfa ternyata tinggal di
tempat yang lebih pantas disebut garasi atau apalah. Ada perasaan yang aneh yang
Indah rasakan, tapi ia tak bisa berkata-kata. Terbayang makanan yang mewah dan
buah-buahan segar bertumpuk jika ia sakit, terkadang hingga busuk karena tak
tersentuh.
Indah tertunduk. Ia tak lagi menghiraukan teman-teman di
sekelilingnya. Suara Bu Ulfa yang sejak tadi menghibur Rani tak ia dengarkan.
Tenggorokannya seakan kering dan tercekat. Tubuhnya gemetar.
“Apa yang terjadi padaku?” bisik Indah dalam hati.
Tiba di rumah, Indah langsung menjerit memanggil
bundanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Bunda Indah bingung. Tak pernah ia
saksikan anak semata wayangnya mengeluarkan air mata beberapa tahun ini.
“Ada apa dengan Indah?” bisik Bunda dalam hati.
“Bun..., maafkan Indah, ya! Selama ini Indah jadi anak
bandel, sering melawan Bunda. Bun..., Indah jahat. Indah tidak pernah
bersyukur. Indah tidak pernah membahagiakan orang lain,” isak Indah.
Bunda tambah bingung, tapi bercampur bahagia. Buda
melihat ada perubahan besar yang terjadi pada diri Indah. Air mata Indah adalah
air mata terindah yang Bunda saksikan saat ini. Air mata penyesalan dan air
mata pengabdian dari seorang anak yang selalu diimpikan setiap bunda.
“Bunda..., Indah mohon sekali ini saja...! Setelah itu
Indah tidak akan minta apa-apa lagi. Tolong bantu teman Indah, kini ia
terbaring sakit, Bun! Kakinya cedera. Indah yakin jika tak dirawat di rumah
sakit ia tak akan cepat sembuh. Plis... Bun, kabulkan permohonan Indah!” pinta
Indah di tengah isaknya.
Bunda tersenyum. Tanpa berkata, Bunda menganggukan
kepala.
“Terima kasih Bunda, Ayah pasti setuju jika Bunda yang
meminta. Tolong ya, Bunda!”
“Iya, sayang..., Bunda bahagia sekali melihat Indah
seperti ini. Ternyata doa Bunda terkanulkan, Nak. Selama ini Bunda selalu
berdoa buat Indah agar menjadi anak yang peduli pada orang lain, saling mengasihi,
dan berusaha untuk membahagiakan orang lain,” jawab Bunda sambil berlinang air
mata.
Demikianlah, akhirnya Rani mendapatkan perawatan yang
layak dari orang tua Indah. Rani sembuh total dan kembali ke sekolah dengan
ceria. Teman-temannya menyambut dengan suka cita. Indah memeluk Rani dan
berbisik.
“Selamat datang sahabatku. Aku ingin kita berteman
selamanya,” ucap Indah.
“Terima kasih Indah. Aku sudah menganggapmu teman jauh
sebelum kamu memintanya,” jawab Rani.
Indah dan Rani kembali berp[elukan disertai tepuk tangan
yang meriah teman-temannya sekelasnya. Hari ini senyum Indah benar-benar indah
seindah hatinya.
Surabaya,
Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar