Kisah
Setangkai Mawar
OLEH : RAMADHANI AYU WIGUNA
Aku terbangun dari mimpi yang indah. Sinar mentari tepat
menyinari wajahku. Kicauan
serangga terdengar merdu di telingaku.
“Selamat pagi cantik... ” Sapa kamboja yang sejak
tadi sudah bangun.
“Selamat
pagi juga, wah... Kelopakku tambah banyak, warnaku juga indah
banget, aku
cantik sekali!” Aku
berseru setelah sadar diriku sudah mekar sempurna.
“Kamu memang cantik mawar merah, tapi ingat jangan
sombong ya... ” Kamboja mengingatkan.
“Siapa yang sombong, itu kan kenyataan.aku
memang cantik, lihat
saja warnaku... waw
indah sekali... Sedangkan
kamu warnamu jelek, dan
memang pantas jika kamu jadi bunga penjaga kuburan, ha... ha... ha...” Ejekku pada bunga
kamboja.
“Mawar jangan begitu, kita semua ini ciptaan tuhan, jelek, cantik ataupun kurang
sempurna semuanya ciptaan yang kuasa jadi kita tidak boleh sombong.” Melati menasehatiku.
Aku hanya diam. Sejak setahun lalu
taman ini dibangun memang aku yang paling cantik diantara bunga-bunga yang lain. Percuma mendengar
omongan mereka. Gumanku
dalam hati.
Tiba-tiba segerombolan anak-anak bermain
kejar-kejaran di taman, uh... tingkah mereka sangat
menyebalkan, kaki-kaki
mereka menginjak-injak tanaman di taman. Terkadang sesekali
mereka saling dorong hingga merusak daunku, lalu kubalas dengan
tancapan duriku.
“Ah... Sakit banget...!” Teriak anak yang terkena
duriku.
“Ada
apa?” Tanya
temannya.
“Ini tanganku kena duri...!sakit sekali...!” Teriak anak
laki-laki itu.
Aku pun merasa puas sekali berhasil melukai tangan anak
jahil itu. Dia telah merusak daunku dan terkadang mematahkan salah satu
tangkaiku. Rasanya aku ingin membalas lebih dari itu tapi apalah dayaku yang
aku bisa cuma melukainya dengan duriku.
“Sudahlah sini aku lihat, semoga durinya tidak menancap
terlalu dalam.” Kata anak laki-laki yang satunya lagi.
Anak-anak itu menolong tangan temannya yang terkena duri.
Ternyata mereka saling menyayangi, saling bantu saat ada temannya yang terluka,
itulah gunanya teman... itu yang sering aku dengar dari percakapan anak-anak
itu. Ah... aku iri pada mereka. Aku tak mempunyai teman dan bersenang-senang
seperti mereka.
Aku menatap jauh
ke depan, menerawang tak tentu arah. Entah apa yang ada di fikiranku, jiwaku
kosong seakan tak ada gairah, selama ini walau hidup berdampingan dengan
berpuluh-puluh bunga tapi aku merasa sendirian.
Tiba-tiba seorang anak perempuan perlahan mendekati
rumpunku, semakin dekat... semakin dekat... anak itu menatapku dengan penuh
rasa ingin tahu. Ia terus mendekatiku.
“Wow... Cantik sekali...!” Teriak salah satu anak
perempuan yang mendekatiku, tangannya
yang besar tiba-tiba mencengkramku dan mematahkan tangkaiku. Aku menjerit kesakitan, tapi tak ada yang bisa menolongku. Tangkaiku terkulai
lemah. Aku kaget dan tak bisa berbuat apa-apa.
“Bunga yang sangat indah, keindahanya tiada tara... Baunya
haruuuum....!” Teriak anak perempuan itu senang.
Akupun terkulai pasrah ketika anak itu membawaku pergi
entah kemana, tak ada yang menolongku, tak ada yang mengucapkan selamat tinggal
untukku.
“Tuhan... Aku benar-benar sendirian...!” Keluhku dalam
hati.
Bunga kamboja dan yang lainnya hanya menatapku diam. Tak ada
sepatah katapun yang mereka ucapkan padaku. Mungkin mereka merasa takut pada
anak-anak yang mematahkan tangkaiku.
Kini
aku ditempatkan di sebuah vas bunga yang indah. Tubuhku rasanya agak
segar setelah vas bunga diberi air. Tapi kehidupan seperti inilah yang aku
idamkan...?
“Aw... Apa itu...!” Teriakku setelah melihat
sosok hitam yang bergerak ke arahku.
“Halo
cantic...! Aku tikus penunggu rumah
ini, dari
semua bunga yang sering menghiasi kamar
ini kuperhatikan kamu yang paling cantik.” Puji tikus itu padaku.
“Aku
memang cantik. Ciyus... mi apa...? Kamu iri ya karena kamu jelek.” Ejekku.
“Ternyata
selain cantik, kamu
juga sombong ya...? Sudah mau mati masih
juga sombong. Paling
kamu hanya bertahan cuma
satu hari besok juga tamat riwayatmu...!” Ejek tikus padaku.
“Ha... Apa aku akan mati...?” Aku kaget.
“Ya... Iya lah...! Besok bungamu yang cuan..... tik itu akan layu, lalu riwayatmu akan
berakhir di tempat sampah. Lalu
dibuang entah kemana atau berakhir di pembakaran sampah. Ha... ha... ha...!” Teriak tikus sambil
meninggalkan aku sendirian.
“Hei... Tikus apa maksudmu...? Aku tidak akan mati...
tidak...!” Teriakku.
“Hei bunga yang sombong, semua makhluk tuhan pasti akan
mati, tidak ada makhluk tuhan itu yang abadi. Hanya tuhan yang menciptakan kita
yang punya sifat abadi. Kau tidak tahu itu...? Makanya jangan sombong.” Tikus
menasehatiku.
Beberapa
hari kemudian. Ternyata
tikus benar, kini
aku hanyalah sampah yang tak berguna. Tubuhku jelek dan tangkaiku mulai
membusuk, rasanya
sangat sakit sekali. Aku
mulai sekarat, tangkaiku
tekulai lemah. Tak ada lagi warna yang indah,
tak ada lagi bau yang segar dan harum. Aku benar-benar akan mati.
Tiba-tiba
ada yang menghampiriku. Ternyata
tikus. Ia mengendus-endus sambil meneliti sekujur tubuhku yang
mulai mengering dan mulai mengeluarkan bau yang tak sedap.
“Lihatlah keadaanmu sekarang...! Sebentar lagi nasibmu
akan berakhir.” Ejek
tikus.
“Tikus
aku mohon maaf...! Tolong
aku tikus...! Aku
mohon...!” Aku menghiba pada
tikus.
“Menolongmu...? Apa yang bisa aku lakukan untuk makhluk
cantik dan angkuh sepertimu...?” Ejek tikus lagi.
“Tikus maafkan aku...! Aku memang salah. Tapi aku minta
tolong padamu...!” Bujukku memelas.
Tiba-tiba
tikus berlari ketakutan meninggalkan aku sendirian. Aku kaget ternyata
tukang kebun telah datang dan membersihkan sampah-sampah dan lalu membuang aku di tempat pembuangan sampah bercampur
sampah-sampah lain yang aromanya tidak sedap. Tukang kebun mengumpulkan
sampah-sampah yang lainnya dan siap untuk di bakar. Aku sangat cemas. Tubuhku rasanya
lunglai, bau
minyak tanah sangat menyengat. Lalu
tiba-tiba api mulai membakar sampah-sampah yang ada.
“Tuhan... Tolong aku... Panas mulai terasa. Tuhan... Aku tidak mau mati... Tolong aku ya Tuhan...!” Aku berdoa memohon
keajaiban tuhan.
Tubuhku
mulai terasa pedih saat api mulai membakar ujung tangkaiku, aku pasrah. Tiba-tiba ada yang
menarikku dan membawa aku menjauhi pembakaran.
“Tikus...! Terima kasih, kau menolongku, maaf atas kelakuanku
kemarin ya... Aku
selama ini memang sombong. Aku
bangga dengan kecantikan dan kesempurnaanku.” Ujarku pada tikus.
“Sudahlah, kamu tetap akan mati
walaupun kali ini selamat dari api, kita semua akan mati. Cuma tinggal menunggu
giliran, iya kan?”
“Iya
aku tahu tikus. Tapi aku tidak mau mati
di pembakaran. Kau
bisa menolongku satu kali lagi...? Tolonglah...?” Aku memohon pada tikus.
“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya tikus mulai serius.
“Kau mau menolongku kan?” Aku bertanya hanya untuk
memastikan.
“Jika
aku bisa aku akan menolongmu...!” Jawab tikus.
“Bawalah
aku ke tempat
yang aman. Lalu
buatlah lubang untukku, sebelum
tangkaiku kering. Aku
masih bisa hidup tikus…! Lihatlah
bakal tunasku masih ada kan? Aku
akan tumbuh jika kau
tanam aku. Tolonglah...!” Pintaku pada tikus.
“Oh ya...?” Tikus agak kaget.
“Iya teman, bunga mawar sepertiku ini dikembangbiakkan
dengan di stek.” Aku berusaha untuk menjelaskan pada tikus.
“Apa pula itu stek?” Tanya tikus semakin penasaran.
“Stek itu adalah salah satu cara berkembang biak dengan
cara mematahkan bagian tubuhku lalu ditanam kembali. Nah...! Nanti akan tumbuh
tunas-tunas baru di tangkaiku hingga aku nanti dapat tumbuh besar lalu berbunga
lagi. Begitu tikus, apa kau paham?” Tanyaku pada tikus.
“Wow...! Begitukah..?” Tikus seakan takjub mendengar
penjelasanku.
“Ternyata Tuhan memang maha kuasa yang bisa menciptakan makhluk
dengan segala keunikannya. Baiklah aku akan membantumu dengan senang hati. Tapi
ingat jika nanti kau diberi kesempatan hidup dan berkembang hingga bungamu
secantik dulu, kau jangan pernah menyombongkan diri seperti dulu kau setuju...?”
Kata tikus.
“Baiklah...! Aku akan mendengarkan nasehatmu. Jika aku
diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang maka aku akan menjadi makhluk Tuhan
yang cantik dan berteman dengan semua makhluk yang lainnya.” Janjiku pada
tikus.
Dengan semangat tikus sahabatku menggali lubang untukku
lalu dengan mulutnmya aku dibawa ke lubang itu lalu di tanam dengan penuh
harapan dan doa. Aku terharu melihat ketulusan sahabatku itu.
Beberapa
bulan telah berlalu, daunku
kini mulai bermunculan, semua
ini berkat jasa tikus yang kini jadi sahabatku. Dia rutin mengunjungiku
setiap malam, ternyata
mempunyai sahabat sangatlah indah. Bentuk fisik ternyata bukanlah jaminan. Yang terpenting adalah hati
kita. Kini aku diberi
kesempatan menjadi makhluk yang lebih memaknai hidupku, bersama sahabat-sahabat
baruku yang baik.
Surabaya, 10 Agustus 2015
Kupersembahkan
untuk sahabat-sahabat yang setia
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar